MUHAMMAD LUTHFI GHOZALI MENGANGGAP SUNNAH MEMBACA RATIB-RATIB, HIZIB-HIZIB, TAHLILAN ATAU YASINAN


Penulis mengatakan dalam bukunya (Halaman 276):

Amaliah itu hanya membuahkan kesombongan dalam hati karena merasa telah menjadi kelompok jama’ah pengajian yang elit, pengajian di hotel-hotel berbintang. Mereka selanjutnya tidak mau lagi duduk dalam satu majelis dengan masyarakatnya semata-mata memandang masyarakat yang ada di lingkungannya terbelakang dengan alasan karena hanya itu-itu sata yang dilakukan, paling-paling tahlil dan membaca yasin yang dikatakan sudah kuno.

Lalu penulis melanjutkan (Halaman 278-279) :

Ratib-ratib (ratibul hadad, ratibul ‘ath-thosy dan lain-lain) maupun hizib-hizib yang telah diajarkan oleh para ulama salafush-shalih kepada para pengikutnya adalah untuk kepentingan individu maupun jama’ah. Sesungguhnya bacaan tahlil dan surat Yasin yang membudaya di masyarakat pada setiap malam Jum’at atau malam-malam yang lain sudah mencukupi untuk kebutuhan ruqyah massal ini. Dalam hal ini mereka telah membimbing langsung kepada pengikutnya bersama-sama dalam satu kelompok jama’ah.

Sesungguhnya ruqyah ini memang telah dilaksanakan oleh umat Islam secara berkesinambungan sejak zaman shahabat, tabi’in dan tabii’it-tabi’in dan yang mengikutinya sampai sekarang. Ruqyah telah mengakar dan mentradisi di masyarakat terutama masyarakat ahli sunnah wal jama’ah, hanya saja para pelakunya tidak memahami bahwa itu adalah pelaksanaan ruqyah massal.

Kesimpulan

Kyai Luthfi mengatakan membaca Ratib-ratib, hizib-hizib, yasinan dan tahlilan yang dilaksanakan setiap hari jum’at atau malam lain adalah ruqyah massal. Dan merpakan peninggalan sejak zaman shahabat, tabi’in dan tabii’it-tabi’in dan yang mengikutinya sampai sekarang.

Bantahan kami

Dari mana dalilnya wahai Kyai Luthfi, anda mengatakan seperti itu! Untuk membongkar kesesatan keyakinan Kyai Luthfi, pada pembahasan dibawah ini kami akan membahas secara tuntas hakikat Ratib, hizib, yasinan dan tahlilan dilihat dari kacamata syari’at Islam.

HAKIKAT HIZIB DAN RATIB

Mungkin ada diantara kita yang pernah mengamalkan ratib atau hizb pemberian kiai dipesantran-pesantren. Dalam kalangan spiritual, ratib atau hizb dipercaya memiliki kekuatan spiritual diatas ilmu-ilmu hikmah.

Dalam dunia tarekat, zikir itu bermacam-macam bentuknya. Ada yang berupa zikir latifah, seperti pada tarekat Naqsabandiyah. Ada yang berupa ratib dan hizib. Zikir-zikir dalam bentuk ratib sangat populer dalam tarekat Samaniah dan tarekat Haddadiyah. Sedangkan zikir dalam bentuk hizib sangat populer dalam tarekat Syaziliyah dan tarekat Kadariyah.

Pengertian Ratib

Ratib dalam istilah tasawuf dipakai sebagai suatu bentuk zikir yang disusun oleh seorang guru tarekat sufi untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu oleh seseorang atau beberapa orang dalam suatu jamaah sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh penyusunnya. Dalam tarekat Samani, ratib-ratib ini biasa dilakukan setelah shalat Isya’ pada malam Jumat yang dipimpin oleh seorang syeh/guru.

Dalam tarekat Haddadiyah, ratib-ratib ini dibaca sesudah selesai shalat subuh dengan suara nyaring dibawah pimpinan seorang imam. Bacaan dalam tarekat haddadiyah ini sangat sederhana bila dibandingkan pada tarekat-tarekat yang lain.

Yakni membaca surat alfatihah, ayat kursi, al-Baqarah ayat 285-286, Al-Ikhlas, Al-Falaq, an-Nas, 17 kali membaca tahlil, tasbih, istighfar, selawat, taawwuz, basmalah dan kemudian doa-doa pilihan, yang kesemua ini disusun oleh Sayid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sultam at-Thalib, Syarah ratib al-Haddad karya Sayid Ali bin Abdullah al-Haddad.

Pengertian Hizb

Hizb, adalah do’a-do’a yang dibuat para mursyid sufi terdahulu, dimana dalam hizb tersebut terkandung rahasia-rahasia ghoib yang berhasil diungkapkan oleh sang syaikh sufi yang dikultuskan sebagai waliyullah.

Hizb juga dianggap memiliki khowas, karena keterkaitannya dengan sang wali itu sendiri. Para wali Allah, seperti telah kita ketahui adalah, orang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Sehingga segala permohonannya Insya Allah segera diizabah oleh Allah SWT. Berkaitan dengan hal tersebut penerus hizb bisa berwasilah via wali yang dimaksud, sehingga khowas dari sang wali akan timbul melalui hizb yang diriyadohkan.

Hizb-hizb yang terkenal seperti Hizb Bahr, Hizb Nashr, Hizb Al-Jaylani dsb. Terkenal dapat memberikan kesaktian bagi orang yang mengamalkannya.

Seperti halnya Hizib al-Bahar, Hizb Bahar merupakan kumpulan zikir yang disusun oleh tokoh tarekat bernama Abu Hasan Ali as-Syazili. Hizib ini biasanya dibaca sebelum matahari terbit dan sesudah shalat ashar. Hizib inipun merupakan zikir dengan bacaan-bacaan tertentu yang disusun oleh seorang imam tarekat, yang sama sekali tidak ada landasannya dari ayat maupun hadis, kendati bacaan-bacaannya diambil sebagian dari ayat. Dan masih banyak lagi aliran-aliran tarekat dengan spisifikasi bacaan-bacaan zikir tertentu. Para pengikut tarekat sufi yang sering mengamalkan ratib atau hizb seseungguhnya adalah kelompok yang cenderung menafikan keberadaan ayat-ayat dan sunnah Rasulullah SAW. Kelompok ini lebih berorientasi kepada cara-cara berzikir yang dikarang dan diciptakan oleh ulama-ulama sufinya. Ulama-ulama yang biasa menyusun rangkaian zikir dan cara/etika berzikir adalah ulama-ulama tarekat. Semua tarekat mempunyai wirid berupa zikir-zikir tertentu sesuai dengan petunjuk dari syekh/guru tarekat tersebut yang mempunyai tatat cara yang bid’ah.

Contohnya bila kita ingin mendapatkan ilmu karomah, maka melakukan amalan Hizib Al-Jaylani. Tata caranya adalah :

Bacalah surat Al-Fatihah ditujukan untuk:

  1. Nabi Muhammad SAW 1(satu) kali.
  2. Syekh Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jaylani Al-Baghdaadi 1(satu) kali.
  3. Syekh Mahfuzh Sya’rani 1 (satu) kali

Lalu bacalah hizib di bawah ini sebanyak 72 (tujuh puluh dua) kali:
“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Rabbi innii maghluubun fantashir. Wajbur qalbil-munkasir. Wajma’ syamlil-mundatsir. Innaka antar-rahmaanul-muqtadir. Ikfinii yaa kaafi wa-anal-‘abdul-muftaqir. Wa kafaa billahi waliyyan wa kafaa billahi nashiiraa. Innasy-syirka lazhulmun ‘azhiim. Wamallahu yuriidu zhulmal-lil’ibaad. Faquthi’a daabirul-qawmilladziina Zhalamuu. Wal-hamdu lillahi rabbil ‘aalamiin.”

Para “penikmat” Ilmu Hikmah telah menerangkan cara mendapatkan ilmu ghaib  yaitu mengamalkan Hizbul Jan. Hizbul Jan adalah ilmu yang diklaim sangat ditakuti dan dapat menaklukkan bangsa Jin, bahkan rumah seseorang yang memegang amalan ini hanya didatangi kalangan jin muslim yang baik. Sedangkan jin jahat akan menghindar karena tidak tahan dengan kerasnya ilmu ini.

Sesungguhnya menurut keyakinan pada aliran hikmah, semua ilmu gaib memiliki memang khodam dari bangsa Jin atau malaikat tergantung jenis ilmu dan siapa yang mengamalkan ilmu. Yang dimaksud khodam dalam ilmu khodam adalah Jin Muslim atau malaikat yang akan menjadi sahabat Anda. Dikatakan seseorang yang ingin berkhodam jin dan menempatkan jin itu sebagai pembantu, hendaknya memiliki “senjata pamungkas” yang  ditakuti  kalangan oleh Jin dengan memiliki ilmu gaib yang bisa digunakan untuk menaklukkan bangsa jin, misalnya ilmu Asmak Malaikat, Singo Wojo Bersani atau Hizbul Jan.

Lafald Hizbul Jan adalah: Qosamtu ‘alaikum ya ayyuhal jinnu wasyayatinu wal ‘imarul ladzi fi hadzal makani insharifu bahin bisalamin miqdaruhu walahu muzarin. Alwaha x3.  Al’ajilu x3.  As-sa’itu x3.

Hizib ini diamalkan sebagai wirid setelah ditirakati puasa 7 Senin 7 Kamis. Dan selama puasa itu amalan wiridnya dibaca 3 kali setiap usai shalat atau minimalnya dibaca 3 kali dalam 1 hari 1 malam. Untuk seterusnya, hizib ini dijadikan wirid rutin atau dibaca ketika digunakan untuk mengobati orang yang diganggu jin.

Seseorang yang mengamalkan Hizbul Jan, diyakini secara tidak langsung ia berkhodam dengan jin yang karena dirinya bahkan lingkungan sekitarnya seperti rumahnya akan didatangi banyak jin muslim yang baik. Para jin dari kalangan “Imarul Bait” (jin yang berdiam pada bangunan milik manusia) karena suka dengan si pemilik rumah dan mendapatkan tempat berlindung, maka akan membantu segala kebaikan yang penghuni rumah. Hizbul Jan adalah amalan yang ditakuti jin, khususnya jin jahat (setan).

Selain itu ada juga Hizib Asror yang dapat mendatangkan jimat-jimat secara ghaib. KH. Ahmad Muhammad Suhaimiy [1] menceritakan pengalamannya menjadi penakluk benda ghoib setelah mengamalkan Hizib Asror. Beliau menceritakan bahwa ketika mengamalkan Hizib Asror, tiba-tiba secara ghaib datang batu akik anti cukur, dan tembak, batok bolu (tempurung berlobang tiga), cundrik (keris), besi kuning, dan keong buntet. Setelah mendapatkan jimat-jimat itu KH. Ahmad Muhammad Suhaimiy dihadapan masyarakat langsung mencoba berbagai jimat yang telah didapatnya secara ghoib. Contohnya batu akik dimasukkan kedalam gelas lalu ditembak senapan angin ternyata gelas tersebut tidak pecah. [2]

Kisah yang hampir sama dialami Gus Wahid[3]. Beliau mendapatkan kemampuan ghaibnya yang dapat mengisi seseorang hingga punya kekebalan, gerakan reflek, kewibawaan dll setelah mewiridkan Hizib pemanggilan karamah Syekh Abdul Qadir Jaelani. Bacaannya adalah : “Ya Allah, Ya Rasulullah, Ya Syekh Abdul Qadir Jaelani, Ya Allah kulo nyuwun karamahipun Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Artinya :“Ya Allah, Ya Rasulullah Ya Syekh Abdul Qadir Jaelani, Ya Allah saya minta karamahnya Syekh Abdul Qadir Jaelani” [4]

Bertolak dari uraian di atas, kiranya tidak sulit untuk menyatukan pendapat dikalangan umat Islam, tidak hanya dalam hal berzikir, tetapi dalam segala hal yang bersifat ibadah mahdhah, jika saja umat Islam mau secara konsekuen berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang shahih sebagai pedoman. Hilangkan pengaruh nafsu, popularitas diri dan segala hal yang dapat menunggangi tindakan murni untuk menjalankan agama Allah.

Agama Islam tidak diciptakan oleh manusia, tetapi mutlak kemauan Allah SWT dan Rasul-Nya, karena itu wajib dipatuhi. Karya-karya ulama tarekat tentang zikir bertentangan dengan kemauan Allah SWT (Q.S. 7:205) karennya sebagai konsekuensi logis ucapan syahadatain kita wajib berpedoman kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allahu A’lam.

HAKIKAT YASINAN

Seperti yang kita tahu, kebanyakan kaum muslimin NU “Nahdlatul Ulama” di mana-mana sering membaca Yaasiin, seolah-olah anjuran Nabi Muhammad untuk membaca Al-Qur’an dimaksudkan adalah surat yaasiin, sepertinya Al-Qur’an itu isinya hanyalah surat yaasiin saja. Hal ini dikarenakan seringnya kita mendengar kaum muslimin dan muslimat membaca yaasiin dirumah-rumah, di majelis-majelis ta’lim, dimasjid-masjid, disekolah, dipondok-pondok dan bahkan sering pula kita dengar dibacakan untuk orang-orang yang sedang naza’ (akan mati) serta dibacakan di pemakaman kaum muslimin. Dari sisi Al-Qur’an yang terdiri dari 114 surat hanya surat yaasiin saja yang sepertinya banyak dibaca oleh kaum muslimin.

Sebenarnya ada faktor pendorong sebagian umat Islam menghafal dan selalu membaca surat yaasiin. Yaitu beberapa hadits yang menerangkan keutamaan (fadhilah) yaasiin. Tetapi ternyata hadits-hadits yang merangkan surat yaasiin adalah LEMAH BAHKAN PALSU SEMUANYA.

Kami akan menerangkan kelemahan hadits-hadits tersebut, supaya saudara Luthfi dan sebagian kaum muslimin mengetahui bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai sebagai hujjah, meskipun untuk fadhaa-ilul a’mal.

Hadits Pertama

“Barang siapa yang membaca surat yaasiin dalam satu malan, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.”(Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-maudhu’at (1/247))

Keterangan : HADITS INI PALSU

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya.” Imam ad-Daraquthni berkata, “Muhammad bin Zakaria adalah tukang memalsukan hadits” [5]

Hadits Kedua

“Barang siapa mambaca surat yaasiin pada malam hari karena mengharap keridhaan Allah, niscaya Allah ampuni dosanya.”

Keterangan : HADITS INI LEMAH

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitabnya, al-Mu’jamul Ausaath dan al-Mu’jamush Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi di dalam sanadnya ada Aghlab bin Tamiim. Kata Imam al-Bukhari “Ia munkarul hadits” Kata Ibnu Ma’in :” Ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat)” [6]

Hadits Ketiga

“Barangsiapa membaca surat yaasiin pada malam hari karena mengharap keridhaan Allah, maka ia akan diampuni dosa pada malam itu.”

Keterangan :: HADITS INI LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi dari jalan Walid bin Syuja’, ayahku telah menceritakan kepadaku, Ziyad bin Khaitsamah telah menceritakan kepadaku, dari Muhammad bin Juhadah dari al-Hasan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Sunan ad-Darimi (II/457)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh al-baihaqi, Abu Nu’aim dan al-Khathib, dari jalan al-hasan, dari Abu Hurairah.

Hadits ini MUNQATHI’. Karena dalam semua sanadnya terdapat al-Hasan bin Yasar al-bashriy, ia tidak mendengar dari Abu Hurairah.

Imam adz-Dzahabi berkata :”Al-Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah, maka semua hadits-hadits yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah termasuk dalam jumlah hadits-hadits munqathi’.” [7]

Hadits Keempat

“Barang siapa terus-menerus membaca surat yaasiin pada setiap malan kemudian dia mati, maka ia mati syahid”.”

Keterangan: HADITS INI PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghir, dari sahbat Anas radhiyallahu ‘anhu, tetapi di dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa al-Azdiy, ia seorang tukang dusta dan ia dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. [8]

Hadits Kelima

“ Barangsiapa membaca surat yaasiin pada permulaansiang (dipagi hari), maka terpenuhi semua hajadnya”.

Keterangan : HADITS INI LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dari jalanal-Walid bin Syuja’, telah menceritakan kepadaku Ziyad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhadah, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata:”Telah sampai kepadaku bahwasanya nabi Muhammad bersabda,………….”

Hadits ini mursal, karena ‘Atha’ bin Abi Rabah tidak bertemu dengan Nabi Muhammad sebab ia lahir kurang lebih tahun 24 Hijriyah dan wafat tahun 114H.[9]

Hadits Keenam

“Barangsiapa membac surat yaasiin satu kali seolah-olah ia telah membaca Al-Qur’an dua kali”. (H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.)

Keterangan : HADITS INI PALSU[10]

Hadits Ketujuh

“Barang siapa membaca surat yaasiin satu kali seolah-olah ia telah membaca al-Qur’an sepuluh kali.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abu Hurairah.)

Keterangan : HADITS INI PALSU[11]

Hadits Kedelapan

“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat yaasiin. Barangsiapa yang membacanya, maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala mambaca Al-Qur’an sepuluh kali.”

Keterangan : HADITS INI PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no.2887) dan ad-Darimi (II/456), dari jalan Humaid bin ‘Abdurrahman, dari al-Hasan bin Shalih, dari Harun Abu Muhammad dari Muqatil bin Hayyan (yang benar Muqatil bin Sulaiman) dari Qatadah dari Anas secara marfu’.

Dalam hadits ini terdapat dua rawi yang lemah.

  1. 1. Harun Abu Muhammad.

Kata Imam adz-Dzahabi: ”Aku menuduhnya majhul (tidak diketahui riwayat hidupnya).”

2. Muqatil bin Hayyan

Kata Ibnu Ma’in :”Dha’if”

Kata Imam Ahmad bin Hanbal: ”Aku tidak peduli kepada Muqatil bin Hayyan dan Muqatil bin Sulaiman.” [12]

Imam Ibnu Abi Hatim berkata dalam kitabnya, al-‘Ilal (II/55-56): ”Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini. Jawabnya:’ Muqatil yang ada dalam sanad hadits ini adalah Muqatil bin Sulaiman, aku mendapati hadits ini di awal kitab yang disusun oleh Muqatil bin Sulaiman dan ini adalah hadits Bathil, tidak ada asalnya’. [13]

Imam adz-Dzahabi juga membenarkan bahwa Muqatil dalam hadits ini ialah Muqatil bin Sulaiman.[14]

Syaikh Muhammad nashiruddin al-Albany berkata: ” Apabila sudah jelas bahwa Muqatil yang dimaksud adalah Muqatil bin Sulaiman sebagaimana yang sudah dinyatakan oleh Imam Abu hatim dan diakui oleh Imam adz-Dzahabi, maka hadits ini MAUDHU’ (palsu)”.[15]

Kata imam Waqi’: ”Muqatil bin Sulaiman adalah tukang dusta (kadzdzab)”

Kata Imam an-Nasa’i: “Muqatil bin Sulaiman sering dusta.”[16]

Hadits Kesembilan

“ Barang siapa membaca surat yaasiin di pagi hari, maka akan dimudahkan urusan hari itu sampai sore. Dan barangsiapa membacanya di awal malam (sore hari), maka akan diberi kemudahan urusan malam itu sampai pagi.”

Keterangan: HADITS INI LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi (II/457) dari jalan Amr bin Zararah, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Rasyid Abu Muhammad al_Himani, dari Syahr bin Hausyab, ia berkata: ” Ibnu ‘Abbas telah berkata……….”

Dalam sanad hadits ini ada Syahr bin Hausyab, kata Ibnu Hajar: “Ia banyak me-mursal-kan hadits dan banyak keliru” [17]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata : “Syahr bin Hausyab lemah dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah, karena kesalahannya.” [18]

Hadits ini juga mauquf (hanya sampai sahabat saja).

Hadits Kesepuluh

“Barangsiapa membaca surat yaasiin setiap malam, niscaya diampuni (dosa)nya.” (HR. AL-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Keterangan : HADITS INI LEMAH[19]

Hadits Kesebelas

“ Sesungguhnya Allah ta’ala membaca surat Thaaha dan yaasiin 200 (dua ribu) tahun sebelum diciptakannya Nabi Adam, Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur’an (yakni kedua surat itu) seraya berkata :’Berbahagialah ummat yang turun al-Qur’an atas mereka, alangkah baiknya lidah-lidah yang berkata dengan ini (membacanya) dan baiklah rongga-rongga yang membawanya (yakni menghafal kedua surat itu).”

Keterangan : HADITS INI MUNKAR

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi (II/456), Ibnu Hibban dalam kitab at-Tauhid (no. 328), Ibnu Hibban dalam kitab adh-Dhu’afa (I/108), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 607), al Baihaqi dalam al-Asma’ wash Shifat (I/365) dan ath-Thabrany dalam al-Mu’jamul Ausath (no.4873) dari jalan Ibrahim bin Muhajir bin Mismar, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Dzakwan dari Maulana al-Huraqah.” Kata Ibnu Khuzaimah :” Namanya ‘Abdur Rahman bin Ya’qub bin al-‘Ala’ bin ‘Abdur Rahman dari Abu Hurairah, ia berkata : “ Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam……..”

Matan hadits ini maudhu’ (palsu). Kata Ibnu Hibban : “ Matan hadits ini palsu dan sanadnya sangat lemah, karena ada dua rawi lemah :

  1. 1. Ibrahim bin Muhajir bin Mismar.

Kata Imam al-Bukhari ; “Ia adalah munkarul hadits.”

Kata Imam an-Nasa-i: “Ia perawi lemah.”

Kata Ibnu Hibban : “Ia sangat munkar haditsnya.”

Kata Ibnu Hajar : “Ia perawi lemah.”[20]

  1. 2. ‘Umar bin Hafsh bin Dzakwan.

Kata Imam Ahmad : “Kami tinggalkan haditsnya dan kami bakar.”

Kata Imam ‘Ali Ibnul Madini : “Ia seorang rawi yang tidak tsiqah.”

Kata Imam an-Nasa-i: “Ia rawi matruk.” [21]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Hadits ini gharib dan munkar, karena Ibrahim bin Muhajir dan Syaikhnya (yaitu ‘Umar bin Hafsh) diperbincangkan (oleh para ulama Hadits).” [22]

Hadits Kedua Belas

“ Barangsiapa mendengar bacaan surat yaasiin, ia akan diberi ganjaran 20 dinar dijalan Allah. Barang siapa yang membacanya diberi ganjaran kepadanya laksana ganjaran 20 kali melakukan ibadah haji. Barang siapa yang menulisnya kemudian meminum airnya maka akan dimasukkan ke dalam rongga dadanya seribu keyakinan, seribu cahaya, seribu berkah, seribu rahmat, seribu rezaki, dan dicabut (dihilangkan) segala macam kesulitan dan penyakit.”

Keterangan : HADITS INI PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Khatub dari ‘Ali, lalu ia berkata : “Hadits ini palsu.”

Ibnu ‘Adiy berkata : “Dalam sanadnya ada rawi yang tertuduh memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin Harun.[23]

Dalam sanad hadits ini terdapat Isma’il bin Yahya al-Baghdadi. Shalih bin Muhammad Jazarah berkata : “Ia (Ismail) sering memalsukan hadits.” Imam Daraquthni berkata : “ Ia seorang tukang dusta dan matruk.” Imam al-Azdiy berkata: “Ia seorang tukang  dusta, dan tidak halal meriwayatkan dari padanya.” [24]

Hadits Ketiga Belas

“Surat yaasiin itu bisa memberi manfaat sesuai tujuan yang dibacakan untuknya.”

Keterangan : HADITS TERSEBUT TIDAK ADA ASALNYA[25]

Kata Imam as-Sakhawi : “Hadits ini tidak ada asalnya.” [26]

Hadits Keempat Belas

“Surat yaasiin itu hatinya al-Qur’an, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan keridhaan Allah dan negeri akhirat (surga-Nya), melainkan akan diampuni dosanya. Oleh karena itu, bacakanlah surat yaasiin itu untuk orang-orang yang akan mati diantara kalian.”

Keterangan : HADITS INI LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (V/26) dan an-Nasa-i dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 1083) dari jalan Mu’tamir, dari ayahnya, dari seseorang dari ayahnya dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata: “ Bahwasanya Rasulullah bersabda,……”

Dalam hadits ini ada tiga orang yang majhul (tidak diketahui nama dan keadaannya). Jadi, hadits ini lemah dan tidak boleh dipakai. [27]

Hadits Kelima Belas

“Bacakan surat yaasiin kepada orang yang akan mati diantara kalian.”

Keterangan : HADITS INI LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (V/26-27) Abu Dawud (no.3121), Ibnu Abi Syaibah, an-Nasa-i dalam Amalil Yaum wal Lailah (no.1082), Ibnu Majah (no.1448), al-Hakim (I/565), al-baihaqi (III/383) dan ath-Thayalisi (no. 973), dari jalan Sulaiman at-Taimi, dari Abu ‘Utsman (bukan an-Nahdi), dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata : ““ Telah bersabda Rasulullah……”

Hadits ini lemah karena ada tiga sebab yang menjadikan hadits ini lemah:

  1. 1. Abu ‘Utsman seorang rawi majhul.
  2. Ayahnya juga majhul.
  3. Hadits ini mudhtarib (goncang) sanadnya.

Penjelasan Para Imam Ahli hadits Tentang hadits Ini:

  1. Tentang Abu ‘Utsman
  • Kata Imam adz-Dzahabi : “Abu ‘Utsman rawi yang tidak dikenal (majhul).”
  • Kata ‘Ali Ibnul Madini : “Tidak ada yang meriwayatkan dari Abu ‘Utsman melainkan Sulaiman at-Taimi.” Maksud Ibnul Madini ialah : bahwa Abu ‘Utsman ini majhul) [28]
  • Kata Imam Ibnul Qaththan : “Hadits ini ada ‘illat (cacat)nya, serta hadits ini mudhthorib (guncang) dan Abu ‘Ustman majhul.”
  • Kata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dan ad-Daraquthni : “Hadits dha’if isnadnya dan majhul, dan tidak ada satu pun hadits yang shahih dalam bab ini (yakni membacakan yaasiin untuk orang yang akan mati).” [29]
  • Kata Imam an-Nawawi : “Isnad hadits ini dha’if, didalamnya ada dua orang yang majhul (abu ‘Utsman dan ayahnya).” [30]
  1. Tentang Ayahnya Abu ‘Utsman

Ia ini rawi yang mubham (rawi yang tidak diketahui namanya). Ia dikatakan majhul oleh para ulama Ahli Hadits, karena selain tidak diketahui namanya juga tidak diketahui tentang biografinya.

  1. Hadits ini MUDHTHARIB

Hal ini karena dise bagian riwayat di sebutkan : Dari Abu “Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil tanpa menyebut ayahnya.

Kesimpulan : Hadits ini lemah dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah. [31]

Hadits Keenam Belas

Imam Ahmad meriwayatkan dalan Musnad-nya (Iv/105) dari jalan Shafwan, ia (shafwan) berkata :

“Telah berkata kepadaku beberapa Syaikh bahwasanya mereka hadir ketika Ghudhaif bin Harits mengalami naza’ (sakratul maut), seraya berkata : “Siapakah di antra kalian yang dapa membacakan surat yaasiin?” Lalu Shalih bin Syuraih as-Saukani membacakannya. Maka, ketika sampai pada ayat ke-40, ia (Ghudhaif) wafat. Shafwan berkata : Para Syaikh berkata : ‘Bila dibacakan surat yaasiin di sisi orang yang mau menginggal, niscaya diringankan bagi si mayyit (keluarnya ruh) dengan sebab bacaan itu.’ Kata Shafwan : ‘Kemudian ‘Isa bin Mu’tamir membacakan surat yaasiin di sisi Ibnu Ma’bad’.” (HR. Ahmad (IV/105)

Keterangan : RIWAYAT INI MAQTHU’

Yakni riwayat ini hanya samapi kepada tabi’in, tidak sampai kepada Rasulullah. Sedangkan riwayat ini juga lemah, karena beberapa Syaikh yang disebutkan itu majhul, tidak diketahui nama dan keadaan diri mereka masing-masing. Jadi, riwayat ini LEMAH DAN TIDAK BISA DIPAKAI. [32]

Hadits Ketujuh Belas

“Tidak ada seorang pun yang akan mati, lalu dibacakan surat yaasiin, disisinya (yaitu ketika ia sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian) atasnya.”

Keterangan : HADITS INI PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (I/188) dan jalan Marwan bin Salim Aljazary, dari Shafwan bin ‘Amr, dari Syuraih, dari Abu Darda secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada seorang rawi yang sering memalsukan hadits, yaitu Marwan bin Salim Aljazary.

Kata Imam Ahmad dan an-Nasa-i : “Ia tidak bisa dipercaya.”

Kata Imam a-Bukhari, Muslim dan Abu Hatim : “Ia munkarul hadits.”

Kata Abu Arubah al-Harrani: “Ia sering memalsukan hadits.” [33]

Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati

HADITS PERTAMA

“ Barangsiapa membaca surat yaasiin karena mencari kerihaan surat yaasiin karena mencari keridhaan Allah ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakannlah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.” (HR. AL-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman.)

Keterangan : HADITS INI LEMAH[34]

HADITS KEDUA

“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap jum’at dan membacakan surat yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)-nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”

Keterangan : HADITS INI PALSU

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’. [35]

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubari. Kata Ibnu “Ady: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits bathil.”

Kata Imam ad-Daraquthni : “Ia sering memalsukan hadits.” [36]

Penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah Tentang Fadhilah-Fadhilah Surat

AL-‘Allamah Ibnul Qayyim (wafat tahun 751 Hijriyah) berkata : “(riwayat-riwayat) yang menyebutkan tentang keutamaan-keutamaan (fadhaa-il) surat-surat dan ganjaran bagi orang yang membaca surat ini akan mendapat pahala begini dan begitu dari awal al-Qur’an sampai akhir, sebagaimana yang disebutkan oleh Tsa’labi dan wahidi pada awal tiap-tiap surat dan Zamakhsyari pada akhir surat, semuanya ini kata ‘Abullah bin al-Mubarak : “Semua hadits yang mengatakan ‘barangsiapa yangmembaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu…..SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Mereka (para pemalsu hadits) mengatas namakan Rasulullah. Sesungguhnya orang-orang yang membuat hadits-hadots itu telah mengakui mereka memalsukannya.”

Mereka berkata : Tujuan kami membuat hadits-hadits palsu agar manusia sibuk dengan (membaca al-Qur’an) dan menjauhkan (kitab-kitab) selain al-Qur’an.”Mereka (para pemalsu hadits) adalah orang-orang yang sangat bodoh!!! Apakah mereka tidak tahu hadits :

“Barangsiapa yang berkata apa yang aku tidak katakan, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.” (Hadits mutawatir) [37]

KESIMPULAN

Hadits-hadits tentang fadhilah surat yaasiin adalah LEMAH dan PALSU. Oleh karena iu tidak bisa dijadikan hujjah untuk untuk menyatakan keutamaan surat yaasiin dari surat-surat yang lain dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi yang membaca surat yaasiin.

Adapun hadits-hadits yang sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika berziarah ke pemakaman muslim atau menziarahi makam orang tuanya adalah LEMAH bahkan PALSU. Maka orang yang melakukannya telah berbuat bid’ah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata : “Membacakan surat yaasiin ketika ada orang yang seang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur’an (membaca surat yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah kubur adalah bid’ah dan tidak ada asalnya sama sekali dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah.” [38]

HAKIKAT TAHLILAN[39] DAN SELAMATAN[40]

M. Luthfi Ghozali mengatakan bahwa tahlilan dan selamatan kematian merupakan peninggalan dari sejak zaman shahabat, tabi’in dan tabii’it-tabi’in dan yang mengikutinya sampai sekarang. Klaim M. Luthfi Ghozali sesungguhnya hanya klaim sesat dan tanpa dalil yang syar’i! Sesungguhnya tahlilan (selamatan kematian) justru adalah bid’ah munkar dengan ijma’ para shahabat, tabi’in dan tabii’it-tabi’in dan yang mengikutinya sampai sekarang!

Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy, ia berkata : “Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang atau menganggap (uakni menurut mazhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tampat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”[41]

Hadits atau atsar di atas membantah pernyataan M. Luthfi Ghozali bahwa tahlilan adalah peninggalan para shahabat! Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan makanan di situ tarmasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ah idhafiyyah[42] apabila di situ adanya penentuan dan penertiban beberapa bacaan yang dilakukan dalam selamatan atas kematian seseorang atau lainnya pada pengertian yang bisa disebut dengan “tahlilan”. Penentuan yang dimaksud dalam hal ini, selain dari penentuan waktu, seperti pada hari ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000 dst, juga penentuan bacaan. Baik jumlah bilangannya, juga penentuan penertibannya. Namun keterangan Al Qur’an dan As Sunnah bahwa hal itu untuk amalan sebagaimana dilakukan itu tidak didapatkan, sudah barang tentu amalan tersebut hanya sia-sia belaka..

FATWA DAN IJMA’ ULAMA TENTANG TAHLILAN

Sebagaimana kita maklum, M. Luthfi Ghozali adalah penganut suatu tarekat sufi yang mengatas namakan ahlus sunnah wal jama’ah, namun segala apa yang diyakininya termasuk dalam hal ini adalah golongan mereka ( M.Luthfi Ghozali berserta mursyidnya dan beserta orang-orang yang sepaham dengan dia) sama sekali tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan kebiasaan para sahabat. Maka bisa dipastikan mereka ini (M.Luthfi Ghozali berserta mursyidnya dan beserta orang-orang yang sepaham dengan dia) telah keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah.

Pada pembahasan dibawah ini kami akan memaparkan fatwa dan ijma’ jumhur ulama yang mengharamkan tahlilan (selamatan kematian). Jika M. Luthfi Ghozali masih mengingkari Fatwa dan ijma’ para ulama, maka dipihak manakah dia????

Telah berkata Imam para ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah, al Imam asy Syafi’i di kitabnya al Umm (I/318) :

“ Aku benci al-ma’tam, yaiu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”  [43]. Imam asy Syafi’i juga berfatwa : “Dan tidak disukai menyelenggarakan makanan-makanan pada hari pertama (selamatan kematian), hati ke tiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan kekuburan secara musiman (seperti peringatan khaul).”  [44]

Telah berkata Imam Ibnu Qudamah [45]: ” Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak, maka itu satu hal yang dibenci (haram). Karena akan menambah (kesusahan) di atas musibah mereka dan menyibukkan mereka di atas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah.”

Telah berkata Syaikh  Ahmad Abdurrahman al Bana [46] : “Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuatkan untuk orang yang berkumpul di situ berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah haram.”

Ada banyak lagi para fatwa dan ijma’ Ulama yang mengharamkan tahlilan (selamatan kematian) seperti al Imam an Nawawi[47], Imam asy Syairoziy[48], al Imam Ibnul Humam al Hanafi[49], al Imam Ibnul Qayyim[50], al Imam asy Syaukani[51], al Imam Ahmad bin Hambal[52].

Sesungguhnya sikap terbaik kita terhadap ahli mayit adalah memberika makanan bukan malah memberatkan ahli mayit yang sibuk membuatkan makanan. Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiyah : “Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimkan kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para pen-ta’ziyah. Demikian menurut imam madzhab Ahmad  dan lain-lain.”[53] Dan Berkata Imam al Ghazali di kitabnya al- Wajiz Fi Fiqhil Imamisy Syafi’i (I/79) : “Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.” Berdasarkan sabda Nabi Muhammad ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat : “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukkan mereka (yakni musibah kematian).” [54]

Adapun dalam acara tahlilan itu ada penentuan bacaan doa atau dzikir. Baik jumlah bilangannya, juga penentuan penertibannya dengan niat pahala bacaan tersebut DIHADIAHKAN kepada mayit atau roh. Lalu diakhir tahlilan membaca doa ALLAHUMMA AUSHIL TSAWABA MAA WARA’NAAHU ILARUHI FULAN (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh fulan) tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.

Menurut ijma’ para ulama seperti Imam an Nawawi [55] : “ Adapun bacaan Qur’an (yang pahalanya dihadiahkan atau dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam mazhab Syafi’i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi……Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan pengikutnya, yaitu firman Allah,”Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan sabda Nabi SAW “ Apabila manusia telah meninggal dunia, amak terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfa’at dan doa anak shaleh”

Hal senada juga dikatakan Al-Haitami [56], Imam Muzani[57], Imam al-Khazim di dalam tafsirnya[58],. Begitu juga Ibnu Katsir dalam tafsirnya tafsirul Qur’anil Azhim dan Tafsir Jalalain disebutkan : “Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain.” [59].

HAKIKAT KHAUL [60]

Pembahasan khaul masih ada hubungannya dengan acara tahlilan dan selamatan kematian. Biasanya acara khaul dilakukan terhadap tokoh (yang sudah meninggal) yang dianggap punya kedudukan tinggi dan besar dimasyarakat. Sesungguhnya aini adalah perilaku jahiliyah, sebelum turunnya Islam. Mereka mengkhususkan tempat tertentu dan wktu-waktu tertentu untuk berkumpul dan mengadalan perayaan massal. Biasanya ditempat sekitar kuburan nabi, Wali, kuburan para guru atau muryid sufinya. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diantara tempat-tempat tersebut adalah makam para nabi, orang-orang shalih, padahal telah ada larangan dari Nabi baik secara umum maupun khusus.” [61]

Apakah acara Khaul ini ada tuntunannya dari Al-Qur’an dan Sunnah, atau hanya karena sikap ghuluw kita terhadap seseorang tokoh yang sudah meninggal (biasanya tokoh-tokoh dari tarikat sufi atau pemimpin pesantren atau bahkan tokoh yang dianggap sakti mandraguna). Mari kita bahas bersama.

Khaul dan Kultus Individu

Sebagian masyarakat Indonesia (terutama dari Nahdlatul Ulama dengan tarekat sufinya) sampai detik ini, masih sangat suka dengan pengkultusan terhadap seseorang, yang ditemukan hampir merata di seluruh penjuru nusantara. Disebabkan punya kedudukan atau dianggap tokoh besar maka ia dikultuskan dan dikeramatkan.

Pengkeramatan sang tokoh ini berlangsung sejak tokoh tadi hidup bahkan sampai ia meninggal dunia. Barang-barang yang berkaitan dengan sosok tadi pun dicari-cari dan diagung-agungkan, dijadikan jimat dan tidak lupa untuk dikeramatkan.Tambah parah lagi, makamnya senantiasa ramai dipadati oleh para pengagum dan simpatisan yang pingin ‘ngalap berkah’ dari kubur sang tokoh. Selalu semarak, itu yang terjadi di makam orang yang ditokohkan. Bahkan ketika tiba saat khaul ulang tahun kematian dan kelahiran tokoh, semaraknya kubur lebih dibandingkan dengan semaraknya masjid-masjid Allah.

Tidakkah mereka para ahli syirik itu mengetahui larangan Rasulullah. Rasulullah bersabda : “Jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, dan makamku sebagai tempat hari raya. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” (HR. Abu Dawyd. No. 2042)

Ketahuilah Imam asy Syafi’i sendiri (banyak yang mengaku bermazhab Imam Syafi’i namun tidak mengikuti fatwa Imam Syafi’i) mengingkari adanya acara khaul, sebagaimana yang dikatakannya :“Dan tidak disukai menyelenggarakan makanan-makanan pada hari pertama (selamatan kematian), hati ke tiga, sesudah seminggu, dan juga MEMINDAHKAN MAKANAN KE KUBURAN SECARA MUSIMAN (seperti peringatan khaul).”  [62]

Pengingkaran (terhadap fatwa ulama) dan kenyataan acara khaul lebih tambah mengenaskan ketika ditemukan kenyataan bahwa mayoritas peziarah adalah mereka yang menyatakan diri sebagai orang muslim. Aktivitas yang berhubungan dengan pengagungan seorang tokoh selalu akan bertambah variasinya, karena berjalan seiring dengan ide dan kreativitas para pengagum.

Contoh konkrit ada di zaman nabi Nuh. meninggalnya para tokoh agama di zaman itu memunculkan ide di kalangan para pengagum untuk membangun patung dan gambar demi mengenang sang tokoh. Awalnya untuk mendekatkan pada Allah. Ide berkembang setelahnya dengan menjadikan sang tokoh sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah. Berkembang lagi hingga menjadikan patung tadi sesembahan yang diibadahi selain Allah.

Kreatifitas kesyirikan ini hampir selalu berulang di setiap zaman dan generasi, karena ini adalah makar syaitan untuk menjerumuskan umat manusia ke dalam neraka. Tokoh yang dipuja bisa jadi berbeda namun sebenarnya hakikat kebatilan yang ditawarkan adalah sama. Di zaman nabi Nuh yang diagungkan adalah wadd, suwa , yaghuts , yauq dan nashr, dan di kafir qurays ada yang dinamakan latta, uzza, manna dan hubbal.

Dan di negeri ini pun ada pula yang ditokohkan seperti itu. Wujud kreatifitas kesyirikan yang bisa ditemukan di masa kini, adalah dibuatnya berbagai perhelatan untuk mengagungkan sang tokoh, baik dengan megadakan tour ziarah, atau peringatan ulang tahun kelahiran dan kematian (haul). Atau mengawetkan barang-barang peninggalannya.

Bila ditimbang dalam syariat Islam, hal yang berkaitan dengan mengagungkan tokoh dan peninggalan-peninggalan bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Bahkan sebaliknya pintu-pintu yang menuju kepada pengagungan tokoh, melebihi kapasitas kemanusiaan dicegah dan ditutup oleh Rasulullah dan para sahabat. Pengagungan terhadapan suatu benda dan individu tertentu hampir selalu identik dengan kesyirikan. Umumnya, sebuah masyarakat akan mengagungkan tokoh dan benda karena berjangkitnya penyakit kebodohan di tengah-tengah mereka. Tak tahu mana yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat Allah ta’ala. Atau hadir di negeri tersebut para tokoh agama yang buruk yang memberikan contoh teladan keburukan kepada umat, mengahalalkan yang haram daan mengharamkan yang halal. Sampai hal yang syirik pun dilegalkan oleh ulama buruk ini. Bisa juga terjadi karena memang masyarakat terlampau ghuluw dalam mengagungkan seorang tokoh. Atau bercokol di negeri itu para pemimpin yang buruk, yang tak menjalankan syariat Allah ta’ala.

HAKIKAT GHULUW

Ghuluw atau sikap yang berlebih-lebihan dalam agama merupakan penyakit yang sangat berbahaya dalam sejarah agama-agama samawi (langit). Dengan sebab ghuluw, zaman yang penuh dengan tauhid berubah menjadi zaman yang penuh kesyirikan. Zaman yang penuh dengan tauhid kepada Allah berlangsung sejak zaman Nabi Adam sampai diutusnya Nuh ‘alaihis salam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. [63]

Sejak zaman Nabi Nuh inilah syirik tumbuh dengan semarak, padahal kita ketahui bahwa syirik itu adalah dosa yang paling besar dalam bermaksiat kepada Allah. Dengan syirik itu pula akan terhapus pahala-pahala, diharamkan pelakunya masuk ke dalam surga dan dia akan kekal di dalam neraka. Dan pada zaman Nabi Nuh inilah awal mula kesyirikan terjadi.

Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya tentang ghuluw (sikap berlebihan di dalam mengagungkan, baik dengan perkataan maupun i’tiqad) kaum Nabi Nuh terhadap orang-orang shalih pendahulu mereka. Tatkala Nabi Nuh menyeru mereka siang dan malam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi agar mereka hanya menyembah Rabb yang satu saja, dan menerangkan kepada mereka akibat-akibat bagi orang yang menentangnya. Tetapi peringatan tersebut tidaklah membuat mereka takut, bahkan menambah lari mereka dari jalan yang lurus, seraya mereka berkata:

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا. ﴿نوح: ٢۳﴾

Artikel : “Dan mereka berkata: “Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian, dan janganlah pula kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan janganlah pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr.” (Nuh: 23)

Di dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut: “Mereka adalah orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh, lalu ketika mereka wafat syaithan mewahyukan kepada mereka (kaum Nabi Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka (orang-orang shalih tersebut) pada majlis-majlis tempat yang biasa mereka duduk dan memberikan nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka, maka mereka pun melaksanakannya, namun pada saat itu belum disembah. Setelah mereka (generasi pertama tersebut) habis, dan telah terhapus ilmu-ilmu, barulah patung-patung itu disembah.” [64]

Ibnu Jarir berkata: “Ibnu Khumaid berkata kepadaku, Mahran berkata kepadaku dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qais: “Bahwa Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah kaum yang shalih yang hidup di antara masa Nabi Adam dan Nabi Nuh alaihimus salam. Mereka mempunyai pengikut yang mencontoh mereka dan ketika mereka meninggal dunia, berkatalah teman-teman mereka: “Kalau kita menggambar rupa-rupa mereka, niscaya kita akan lebih khusyu’ dalam beribadah.” Maka akhirnya mereka pun menggambarnya. Ketika mereka (generasi pertama tersebut) meninggal dunia, datanglah generasi berikutnya. Lalu iblis membisikkan kepada mereka seraya berkata: “Sesungguhnya mereka (generasi pertama) tersebut telah menyembah mereka (orang-orang shalih tersebut), serta meminta hujan dengan perantaraan mereka. Maka akhirnya mereka pun menyembahnya.” [65]

Perbuatan kaum Nabi Nuh yang menggambar rupa-rupa orang-orang shalih yang meninggal di kalangan mereka ini berdasarkan anggapan mereka yang baik dan gambar-gambar ini belum disembah. Tapi ketika ilmu terhapus dengan kewafatan para Ulama dan ditambah dengan merajalelanya kebodohan, maka inilah kesempatan bagi setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan syirik dengan cara ghuluw terhadap orang-orang shalih dan berlebih-lebihan dalam mencintai mereka.

Timbullah pertanyaan di dalam benak kita, apa sebetulnya tujuan kaum Nabi Nuh menggambar rupa-rupa orang-orang shalih tersebut? Berkata Imam al-Qurthubi: “Sesungguhnya mereka menggambar orang-orang shalih tersebut adalah agar mereka meniru dan mengenang amal-amal baik mereka, sehingga mereka bersemangat seperti semangat mereka (orang-orang yang shalih), dan mereka beribadah di sekitar kubur-kubur mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Senantiasa syaithan membisikkan kepada para penyembah kuburan bahwa membuat bangunan di atas kubur serta beri’tikaf di atasnya adalah suatu realisasi kecintaan mereka kepada para Nabi dan orang-orang shalih, dan berdoa di sisinya adalah mustajab. Kemudian hal semacam ini meningkat kepada doa dan bersumpah kepada Allah dengan menyebut nama-nama mereka. Padahal keadaan Allah lebih agung dari hal tersebut..” [66]

Perbuatan semacam ini merupakan suatu kesyirikan yang nyata disebabkan oleh sikap ghuluw mereka terhadap orang-orang shalih. Dan akibat dari perbuatan mereka ini ialah kemurkaan Allah atas mereka dengan menenggelamkan mereka dengan adzab-Nya sehingga tidak tertinggal seorang pun dari mereka termasuk anak dan istri beliau sendiri yang kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman di dalam ayat-Nya:

مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْصَارًا. وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لاَ تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا. ﴿نوح: ٢٥-٢٦﴾

Artinya: “Dari sebab kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan kemudian dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah. Dan berkata Nuh: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun dari orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nuh: 25-26)

As-Suddi berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Allah mengabulkan doa Nabi Nuh, maka Allah memusnahkan semua orang-orang kafir yang ada di muka bumi termasuk anak beliau sendiri dikarenakan penentangannya kepada ayahnya”[67]. Maka demikianlah balasan bagi orang-orang yang ghuluw di masa kaum Nabi Nuh.

Sikap ghuluw ini terus terjadi dari zaman ke zaman dan masa ke masa sampai terjadi pula di masa Bani Israil. Kaum Yahudi yang menyatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah sebagaimana terjadi pula pada kaum Nashrani yang menyatakan bahwa al-Masih adalah anak Allah. Allah menjelaskan keadaan mereka di dalam ayat-Nya:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ. ﴿التوبة: ۳۰﴾

Artinya: “Dan orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah.” Dan orang-orang Nashrani berkata: “Al-Masih itu putera Allah.” Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?” (at-Taubah: 30)

Adapun penyebab sikap ghuluw orang-orang Yahudi terhadap ‘Uzair adalah karena mereka melihat dari mukjizat-mukjizat yang terjadi pada ‘Uzair seperti penulisan kitab Taurat dengan hafalannya setelah Taurat dihapus dari dada-dada orang-orang Yahudi, serta keadaan ‘Uzair yang hidup kembali setelah wafat seratus tahun lamanya. Lalu setelah akal mereka sempit untuk membedakan perbuatan dan kekuasaan Allah dengan kemampuan manusia yang terbatas, maka mereka menyandarkan hal tersebut kepada ‘Uzair dan mereka menyatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah sebagaimana Ibnu Abbas menyatakan: “Sesungguhnya mereka (Orang-orang Yahudi) menyatakan demikian (‘Uzair anak Allah) karena mereka tatkala mengamalkan suatu amal yang tidak benar, Allah menghapus Taurat dari dada-dada mereka. ‘Uzair pun berdoa kepada Allah. Tatkala itu kembalilah Taurat yang sudah dihapus dari dada-dada mereka turun dari langit dan masuk ke dalam batin ‘Uzair. Kemudian ‘Uzair menyuruh kaumnya seraya berkata: “Allah telah memberi Taurat kepadaku.” Maka serta merta mereka mereka menyatakan: “Tidaklah Taurat itu diberikan kecuali karena dia anak Allah.” Sedangkan di dalam riwayat lain beliau berkata: “Bakhtanshar ketika menguasai Bani Israil telah menghancurkan Baitul Maqdis dan membunuh orang-orang yang membaca Taurat. Waktu itu ‘Uzair masih kecil sehingga dia dibiarkan (tidak dibunuh). Dan tatkala ‘Uzair wafat di Babil seratus tahun lamanya kemudian Allah membangkitkan serta mengutusnya kepada Bani Israil, beliau berkata: “Saya adalah ‘Uzair.” Mereka pun tidak mempercayainya seraya menjawab: “Nenek moyang kami mengatakan bahwa ‘Uzair telah wafat di Babil, dan jika engkau benar-benar adalah ‘Uzair, diktekanlah Taurat kepada kami. Maka ‘Uzair pun menuliskannya. Melihat hal itu mereka menyatakan: “Inilah adalah anak Allah.” [68]

Riwayat kedua ini menyatakan bahwa ‘Uzair adalah seorang Nabi dari para Nabi Bani Israil. Setelah beliau meninggal seratus tahun lamanya, Allah membangkitkannya sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. ﴿البقرة: ٢٥۹﴾

Artinya: “Atau apakah kamu tidak (memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 259)

Demikianlah asal usul orang-orang Yahudi menamakan ‘Uzair sebagai anak Allah. Adapun perkataan orang-orang Nashrani bahwa Isa anak Allah atau sebagai Allah, ada dua sebab. Yang pertama karena Isa lahir tanpa bapak. Dan kedua karena dia mampu menyembuhkan orang buta dan bisu serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah.[69] Yang menyatakan demikian bukanlah shahabat-shahabat Nabi Isa sendiri, melainkan orang-orang yang ghuluw dari kalangan Nashrani setelah wafat beliau. Setelah selang beberapa waktu mereka menjadi musyrik dikarenakan perkataan mereka itu.

Allah telah membantah serta menerangkan sangkaan mereka yang tanpa dalil tersebut, yang menyebabkan mereka kafir. Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ. ﴿المائدة: ٧٢﴾

Artinya: “Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam…” (al-Maidah: 72)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. ﴿المائدة: ٧۳﴾

Artinya: “Sungguh telah kafir orang yang menyatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga,” padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (al-Maidah: 73)

Siksaan yang pedih di akhirat merupakan balasan orang-orang yang menyatakan bahwa Isa adalah putra Allah atau Isa adalah Allah. Dan mereka termasuk orang-orang kafir dan akan kekal di neraka. Mereka tidak mengetahui bahwa Isa adalah hanyalah seorang Rasul, dan dia hanyalah orang biasa yang dimuliakan dengan beberapa kekhususan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ… ﴿المائدة: ٧٥﴾

Artinya: “Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul, yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya para Rasul, dan Ibunya seorang yang benar, keduanya biasa memakan makanan…” (al-Maidah: 75)

Demikianlah umat-umat terdahulu terjebak ke dalam jurang dosa yang sangat dalam yaitu kesyirikan disebabkan sikap ghuluw mereka kepada orang-orang shalih.

Kerusakan seperti ini tak kunjung berhenti dan akan terus berulang sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umat ini akan meniru peradaban kaum-kaum sebelumnya. Beliau bersabda: “Benar-benar kalian akan mengikuti sunnah-sunnah (jalan-jalan) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu akan mengikuti mereka. Kami (shahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan kita harus meyakini hadits ini bahwa umat ini akan mengikuti sunnah-sunnah umat-umat sebelum mereka seperti sikap ghuluw Yahudi dan Nashara. Hal ini telah terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yaitu ketika terjadi kekufuran yang bersumber pada sikap ghuluw kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi) terhadap Ali bin Abi Thalib sehingga mereka menyatakan bahwa Ali adalah Tuhan dan memiliki sifat ketuhanan. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan Syi’ah Rafidlah yang pertama kali membuka pintu ghuluw terhadap Ali bin Abi Thalib dan kepada anak cucu beliau radhiallahu ‘anhu.

Ghuluw Sufiyyah

Di antara sikap ghuluw yang ada kita juga bisa menemukan adanya sikap ghuluw yang dilakukan sekelompok dari orang-orang sufi terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syaikh-syaikh mereka. Seperti tindakan mereka berdoa kepada Rasul, meminta bantuan (isti’anah), dan pertolongan (istighatsah) dengan memanggil-manggil beliau, atau mengusap-usap kubur beliau atau thawaf di sekelilingnya. Dan terkadang seperti itu pula mereka melakukan terhadap syaikh-syaikh mereka yang telah meninggal.

Di antara mereka ada yang bersikap ghuluw terhadap Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah di Baghdad, Syaikh al-Adawi di Mesir, Para Syaikh (yang dianggap, red) Wali Songo di Indonesia.

Demikianlah sikap ghuluw selalu ada di umat ini selama mereka menjauhi Al-Qur`an dan As-Sunnah serta pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Dengan semakin jauhnya mereka dari al-Qur`an dan as-Sunnah, semakin besarlah kerusakan yang mereka lakukan disebabkan sikap ghuluw tersebut. Tidak sedikit dari kalangan muslimin khususnya orang-orang awam yang terjatuh ke dalam perbuatan syirik sebagaimana yang dilakukan di zaman Nabi Nuh ‘alaihis salam.

Maka bagi kita haruslah ingat sabda beliau: “Hati-hatilah kalian terhadap perbuatan ghuluw di dalam agama, karena sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian dikarenakan (sikap) ghuluw di dalam agama.” [70]

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjauhkan kita dari sikap berlebih-lebihan di dalam beragama, dan agar Allah menunjuki kita serta kaum muslimin untuk kembali ke jalan-Nya yang lurus. Amin. Wallahu a’lam bis shawab.

Maraji’:

1. Al-I’tisham oleh al-Imam asy-Syatibi

2. Al-Qur`an al-Karim

3. Dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam oleh Syaikh Farid Ahmad bin Manshur Ali Asy-Syabt.

4. Kasyfus Syubhat oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

5. Kitab Fathul Majid oleh Asy-Syaikh Abdurrahman Ali Asy-Syaikh.

6. Mahabbatur Rasul Bainal Ittiba’ Wa al-Ibtida’ oleh Asy-Syaikh Abdurrauf Muhammad Utsman.

7. Tafsir Ibnu Katsir jilid 4.

KESIMPULAN

  1. Ruqyah massal (doa berjama’ah) fersi M. Luthfi Ghozali (dan orang-orang yang sepaham dengannya) yang terdiri dari membaca surat yaasiin dengan meyakini keutamaan tertentu surat yaasiin, dengan waktu tertentu, tahlilan dan khaul (selamatan kematian) adalah BID’AH MUNKARAT (bid’ah yang diingkari agama).
  2. Bahwa menurut pendapat jumhur ulama, yasinan, tahlilan, khaul dengan acara mengirim pahala bacaan pada mayit atau roh TIDAK AKAN SAMPAI kepada mayit yang dikirimi.
  3. Tidak boleh ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh tertentu. Seperti tindakan mereka berdoa kepada Rasul, meminta bantuan (isti’anah), dan pertolongan (istighatsah) dengan memanggil-manggil beliau, atau mengusap-usap kubur beliau atau thawaf di sekelilingnya (secara tidak syar’i). Dan terkadang seperti itu pula mereka melakukan terhadap syaikh-syaikh sufi yang telah meninggal.
  4. Sesungguhnya sikap terbaik kita terhadap ahli mayit adalah memberikan makanan, menghibur ahli mayit, bukan malah memberatkan ahli mayit yang sibuk membuatkan makanan dan membuatnya sedih.

[1] Beliau adalah seorang Direktur Pondok Pesantren Darul Falah Es Salafy Kemang Indah, mesuji, OKI Sumetera Selatan.

[2] Untuk lebih jelas kisahnya pertaubatannya. Para pembaca sekalian bisa membacanya pada Majalah Ghoib Edisi Khusus Dukun-dukun bertaubat. Februari 2006.

[3] Beliau adalah Pemimpin Pondok Pesantren Assalam, dusun Bunut Karang Lo Singosaru Malang

[4] Untuk lebih jelas kisahnya pertaubatannya. Para pembaca sekalian bisa membacanya pada Majalah Ghoib Edisi Khusus Dukun-dukun bertaubat. Februari 2006.

[5] Silahkan periksa : Al-Maudhu’at oleh Ibnul Jauzi (1/246-247), Mizaanul I’tidal (III/549), Lisanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal 268 no. 944)

[6] Silahkan periksa Mizaanul I’tidal (I/273-274) dan Lisanul Mizan (I/464-465)

[7] Silahkan periksa : Mizaanul I’tidal(I/527 no.1968), al-Fawaa-idul Majmu’ah (hal 269 no.945) tahqiq Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimy.

[8] Periksa : Tuhfathudz dzakirin (hal.340), Mizaanul I’tidal (II/159-160), Lisanul Mizan (III/44-45)

[9] Periksa: Sunan ad-Darimi (II/457), Misykatul Mashaabih (takhrij no.2177), Mizaanul I’tial (III/70) dan Taqribut Tadhzib (II/22)

[10] Lihat Mu’jamush Shaghir (no.5789) dan silsilatul ahaadits adh-dha’ifah wal maudhu’ah (no.4636) oleh Syaikh al-AlBany.

[11] Lihat Dha’iif jami’ush Shaghir (no.5798) oleh Syaikh al-Albany.

[12] Periksa: Mizaanul I’tidal ( IV/171-172)

[13] Periksa Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah (no.169, hal.312-313)

[14] Periksa: Mizaanul I’tidal ( IV/172)

[15] Periksa Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah (no.169, hal.313-314)

[16] Periksa: Mizaanul I’tidal ( IV/173)

[17] Perikasa : Taqriib (I/423 no. 2841), Mizaanul I’tidal (II/283)

[18] Periksa Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah jilid I halaman 426

[19] Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir hadits no.5788 dan Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah no. 4636

[20] Periksa : Mizaanul I’tidal (I/67), Taqribut Tahdzib (I/67 no.255)

[21] Periksa : Mizaanul I’tidal (III/189). Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah (no. 1248)

[22] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/156), cetakan. Daarus Salam, th. 1413 H.

[23] Mizaanul I’tidal (I/162).

[24] Periksa : Al-Maudhu’at oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah no. 942 dan Mizaanul I’tidal(I/253-254)

[25] Periksa : Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh ‘Ali al-Qari’ (no. 414 halaman 215-216), ta’liq Abdul Fattah Abu Ghuddah.

[26] Periksa: Al-Maqaashidul Hasanah (no.1342)

[27] Periksa: Fat-hur Rabbani (VII/63)

[28] Periksa : Mizaanul I’tidaal (IV/550), Tahdziibut fii Takhriiji Ahaadits Manaaris Sabil (III/151 no. 688).

[29] Periksa : At-Talkhisul Habir Ma’asy Syarhil Muhadzdzab (V/110), Fat-hur Rabbani (VII/63) Irwa-ul Ghail (III/151)

[30] Lihat al-Adzkaar (halaman 122). Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly dalam Shahih al-Adzkar wa Dha’iifuhu (I/388-389).

[31] Untuk keterangan lebih jelas tentang kelemahan hadits ini, silahkan baca al-Qaulul Mubiin fii Dha’fi Haditsai at-Talqin wa Iqra-u ‘ala Mautaakum Yaasiin, oleh Syaikh  ‘Ali bin hasan bin ‘Ali ‘Abdul hamid al-Atsari al-Halabi.

[32] Lihat Irwa-ul Ghalil (III/151-152) Imam ad-Daraquthni berkata : “Tidak ada satupun hadits yang shahih dalam bab ini (lihat hal.32)”

[33] Periksa : Mizaanul I’tidal (IV/90-91). Lihat juga Irwa-ul Ghalil (III/152)

[34] Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no.5785) dan Misykatul Mashabih (no.2179)

[35] Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah (no.50)

[36] Periksa : Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365)

[37] Periksa : Al-Manarul Munif fis Shahih wadh Dhai’if (hal.113-115), tahqiq : ‘Abul Fattah Abu Ghuddah.

[38] Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 dan 325) cet. Maktabah al-Ma’arif)

[39] Yaitu acara pengiriman pahala bacaan kepada orang yang telah mninggal

[40] Berkumpul dengan hidangan yang dibuat keluarga ahli mayit, bak pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu.

[41] Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no.1612) dan ini adalah lafazh-nya) dan Imam Ahmad di Musnad-nya (II/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahan keduanya dalah dari riwayat beliau) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.

[42] Adalah suatu bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al Qur’an atau As Sunnah, tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil yang dimaksud, tidak didapatkan di dalam ajaran Islam.

[43] Jika ada yang mengatakan “kalau tidak sedih maka boleh dilakukan”. Sma sekali tidak! Perkataan Syafi’I di atas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum  mukhalafah.

[44] Lihat kitab I’anatut Thalibin, juz 2 hal. 146

[45] di kitabnya al-Mughni (jus 3 halaman 496-497) di-tahqiq oleh syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki)

[46] Di kitabnya Fat-hur Rabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal (8/95-96)

[47] Di kitabnya Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) dan Rasudhatuth Thalibin (2/145)

[48] Di kitabnya al-Muhadzdzab yang kemudian di-syarah-kan oleh Imam an Nawawi dengan nama al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab juz 5 halaman 305-306

[49] Di kitabnya Fat-hul Qudir (2/142)

[50] Di kitabnya Zaadul Ma’ad (I/527-528)

[51] Di Kitabnya Nailul Authar (4/148)

[52] Baca Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139)

[53] Baca : Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93

[54] Hadits shahih riwayat Imam asy Syafi’y (I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)

[55] Dalam Syarah Muslim (I/90)

[56] Dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al Fighiyah (II/09)

[57] Al-um asy Syafi’i (VII. hal.269)

[58] Dalam kitabnya Al Jamal (IV/236)

[59] Tafsir Jalalain 2/197

[60] Berkumpul dalam upacara masal selamatan yang lazimnya dilakukan di pekuburan (maqbarah) dengan hidangan yang dibuat keluarga ahli mayit, baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu.

[61] Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim, 321

[62] Lihat kitab I’anatut Thalibin, juz 2 hal. 146

[63] (Jami’u al-Bayan juz 2 hal. 194. Ibnu Katsir menukilkan penshahihan al-Hakim pada Tafsir beliau juz 1 hal. 237)

[64] (lihat Kitab Fathu al-Majid bab “Ma ja`a Anna Sababa Kufri Bani Adama wa Tarkihim Dienahum Huwal Ghuluw fis Shalihin”)

[65] (Shahih Bukhari dalam kitab tafsir [4920] surat Nuh)

[66] (Lihat Fathul Majid bab Ma Ja’a Anna Sababa Kufri Bani Adama wa Tarkihim Dienahum Huwal Ghuluw fis Shalihin)

[67] (Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Nuh)

[68] (Zadul Masi’ir Fii ‘Ilmi At-Tafsir, oleh Ibnul Jauzi juz 3 hal 423-424)

[69] (Kitab Mahabbatu ar-Rasul hal. 155)

[70] (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa`i, dan berkata Syaikhul Islam di dalam Iqtidha hal. 106: Sanadnya dengan atas syarat Muslim, dan disepakati oleh Al-Albani di dalam ash-Shahihah 1283)

23 Tanggapan

  1. tidak perlu saling menuding, kebenaran berada di sisi Allah Swt, masing-masing jalani saja keyakinannya.

  2. ke imam 4 aja tidak pernah melarang menggunakan hadist dhaif sbg fadhail amal, memang orang wahabi ini la mahzabi

  3. khaul menurut sy bukan berarti pengkultusan,,, akan tetapi hny mendo’akan dengan banyak orang… di rmh sy sering mengadakan kahul untuk kakek dan nenek sy dengan mengundang tetangga untuk berdoa bersama…. apa itu jg sikap jahiliyah? pdhl org jahiliyah tdk pernah berdo’a pada Allah SWT..

  4. klo sy bertanya,,, anda setuju dengan kalangan sufi ato tidak?

  5. sebaiknya kita kembali merujuk ke Al Qur’an dan Al Hadits.
    Amalan-amalan bikinan nenek moyang yang tidak ada tuntunannya dalam Qur’an dan Al Hadits sebaiknya dibuang jauh-jauh.

  6. Kalu ikuti Manhaj Salaf, ulama panutanmu itu lebih salaf mana di banding Ulama Panutan Kaum Sufi……

  7. Saya hargai pendapat Anda wahai Abu-Abu… tapi dengan harga yang murah, bahkan sangat murah…

    Jalani saja thariqahmu dan aku jalani thariqahku… karena bagiku thariqahku dan bagimu thariqahmu…

    Sesungguhnya amalmu di dunia ini tidak akan ada gunanya, selain adalah Rahman dan Rahiim Allah… Ketika kau anggap amalmu yg paling benar , maka salah yang kau dapat.

  8. kereeen bahasannya,tapi terlalu banyak unsur nafsu dan sangat kurang bijaksana bahasanya,karena yang saya tahu ilmu Ruqyah dan ilmu Hizib sama2 bukanlah ajaran yang diajarkan oleh rosullulloh secara langsung….,semuanya adalah ilmu hikmah.
    dan selama ilmu2 itu bisa bemanfaat untuk menambah keimanan serta keislamannya sich,No problem.
    jadi ulama ahli hikmah dan ulama fiqh itu beda,mas bhro…. lanjuuut

  9. Aq se7 ama den bagoes33…tu..

    Lagian…
    Kenapa kita menyapu/membersikan pelataran/halaman orang lain..???
    Sedangkan halaman kita sendiri masih teramat kotor banyak sampah yg berserakan..???
    .
    .
    Faghfirlanaa yaa Rabbi

  10. sekarang banyak orang yang pintar,,tapi tidak tau akan kegunaan kepintarannya,,,saya sedih dengan artikel diatas,,terlalu menghakmi dan melabilkan sifat banyak muslim yang ada,,,
    keyakinanku terhadap allah swt adalah keyakinanku,,,keyakinanmu adalah keyakinanmu,,
    dengan artikelmu diatas kamu bukan malah memperbaiki islam jadi lebih baik,tp kmu sendiri yg akan menghancurkan islam itu sendiri,,
    intinya,bagiku orang yg bodoh ini,,yasinan TIDAKLAH SESAT,,karena jika yasin itu sesat berarti yang menurunkan surat yasin itu sesat jg,,,

  11. orang yang paham akan ilmu agama dan amal nya sudah nyata tapi mereka tidak melarang malah menganjurkan. tapi kenapa kamu berani sekali menganggap salah.

  12. sejarah itu tidak sempurna, jadi wajar jika terdapat perbedaan pendapat,,akan tetapi jangan mengatakan bahwa orang lain itu sesat karena melakukan khaul, tahilan dan lain_lain,,,karna pendapatmu belum tentu benar,,,koreksi diri

  13. Setahu saya ajaran2 itu adalah resep untuk meningkatkan keimanan seorang murid (krn tiap orang itu mempunya kemampuan dan penyakit yg berbeda-beda). Gak perlu dilihat dalilnya, yg penting manfaatnya. Bisa meningkatkan imannya apa gak? Apakah bisa membikin orang itu tambah takut kpd Allah apa gak? Tambah Malu apa gak? Tambah bersyukur apa gak? Ibadahnya tambah khusyuk apa gak? Pokoknya gak melangkahi nas aja.
    Ibarat dokter memerintahkan kita tidak makan daging kambing, keju karena kita sakit kolesterol atau darah tinggi. Apakan kita mengatakan bahwa dokter itu kafir?

  14. tidak ada yg salah dengan sgala amalan asalkan tdk melanggar syariat…..jdi baca rotib,hizib,tahlilan,..dll bagus…bagus….tetapi yg salah itu klow tahlilan dan yasinan niat …ingin cri mkanan…he…..

  15. Wew… wahabi bisa aja ente ngomongnya.. Klo ente tahu hakikat Islam yang sebenarnya.. jawab 2 pertanyaan ane, klo emang ente mampu.. Klo kagak, cekak ente punya pemahaman akan agama. sorry, ane orangnya g suka basa-basi, boss.
    1. Tunjukan apa hubungan Hakikat sholat dalam kalimah “Alhamdu…”
    2. Apa makna ‘Alif’ serta apa kandungan makna dari A, I, U?

    silahkan jawab. orang kyk ente aja ada yg dengan bangganya ngaku S3 di Kairo.. Sm kelakukannya sm ente, gampang bilang bid’ah dan syirik tanpa paham dulu serta dengan ilmu yg cetek. itu aja, ane ksh pertanyaan g bs jawab, ane gampar langsung di tempat..
    jawab th, boss.. Klo ente g bs, belajar lg yg bener ya, Wahabi.. Nanti klo udah pinter, br koar2 lg..

  16. Jangan mudah menunjuk/menuding orang lain “SESAT” apalagi meng “KAFIRKAN” sesama muslim, karena setiap kali kita menunjuk maka 1 jari akan mengarah ke orang lain dan 4 jari akan mengarah ke diri kita. Artinya “Menuding” itu amat berat tanggung jawabnya karena bisa menjadi “FITNAH” …. Maka ber sikap yang lebih arif merupakan hal utama dalam hal ini. Bukankah “ilmu” kita tidak ada artinya jika dibanding dengan “RAHASIA” ALLAH ?

  17. maaaas wahabi kalau belajar ilmu agama jangan cuma dari buku dan intrnet saja!! hasilnya akidah mu dangkal ditaro didengkul . aku tanya? meja, lemari dan kursi terbuat dari apa .?…….sesudah diperoses oleh ahlinya maka sebutannya lain, tetapi bahandasarnya tetap itu2 juga, kalau sudah keluar dari bahan dasar aku yg paling duluan teriak bukan kamu
    . umpama meja terbuat dari eceng gondok, apa jadinya ? maaas

  18. Allah berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. Perhatikanlah, betapakah mereka mengeada-adakan dusta terhadap Allah. Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka),” (An-Nisa’: 49-50).

    Allah berfirman, “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa,” (An-Najm: 32).

    Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

    Dan Firman Allah Swt. di QS Al-Hujuraat ayat 11 : Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolokkan kaum yang lain (karena) bisa jadi mereka (yang diolok) lebih baik dari mereka (yang mengolok)… dst

  19. astaghfirulloh…astaghfirulloh….astaghfirulloh….berikanlah kefahaman ilmu agamamu yang benar kepada kami yaa Alloh yaa Robbi…
    AL Haqqu hanya satu …bukan menurut saya, anda, si anu, …si anu…
    Al Haqqu min Robbikum ….dan yang paling paham agama ini adalah Rasululloh…. marilah kita beragama Islam seperti Rasululloh …..timbangan kita beragama adalah praktek langsung Rasululloh…karena Aisyah r.a telah berkata Rasululloh adalah Al Qur’an berjalan …..

  20. seringkali apa2 yg dilakukan umat tetapi di jaman nabi tidak ada petunjuk untuk melakukan itu dibilang bid’ah…padahal islam itu agama yang tak luntur oleh perkembangan jaman…

Tinggalkan Balasan ke bagoes33 Batalkan balasan